BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring
dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang
kesehatan yang modern dan canggih dalam penanganan kesehatan baik secara
kuratif, promotif, rehabilitative, dan preventif sangat memberikan manfaat bagi
manusia. Dengan berkembangnya pengetahuan teknologi kesehatan, hal ini tidak
lepas dari pengaruh penyakit yang menyerang manusia dengan latar belakang yang
berbeda sehingga perlunya pembaharuan secara berkelanjutan demi terealisasinya
upaya kesehatan. Adapun dalam paper ini kami akan membahas secara khusus
mengenai penyakit Tifoid. Dimana kita ketahui bahwa penyakit Tifoid adalah
salah satu penyakit infeksi pada manusia dari makanan yang terkontaminasi. Jika
dianalisa kemajuan, perkembangan pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang
kesehatan.
seharusnya pengobatan yang baik merupakan upaya pencegahan yang paling penting
diantaranya dengan program pencegahan dan promosi kesehatan oleh tenaga
kesehatan kepada masyarakat sehingga Paper ini diharapkan dapat membantu
dalam upaya pencegahan penyakit
khususnya pada penyakit Tifoid yang akan kami ulas lebih rinci pada pembahasan
selanjutnya. Demam
tifoid (typhoid fever) atau yang lebih dikenal dengan penyakit tifus ini
merupakan suatu penyakit pada saluran pencernaan yang sering menyerang anak-anak
bahkan juga orang dewasa. Penyebab penyakit tersebut adalah bakteri Salmonella
Typhi. Gejala-gejala yang kerap
terjadi antara lain seperti nyeri pada perut, mual, muntah, demam tinggi, sakit
kepala dan diare yang kadang-kadang bercampur darah. Penularan
penyakit tifus ini, pada umumnya itu disebabkan oleh karena melalui makanan
ataupun minuman yang sudah tercemar oleh agen penyakit tersebut. Bisa juga,
karena penanganan yang kurang begitu higenis ataupun juga disebabkan dari
sumber air yang sering digunakan untuk mencuci dan yang dipakai untuk
sehari-hari.
B.
Tujuan
1.
Untuk memahami serta mengidentifikasi penyakit tifoid.
2.
Memberikan gambaran
mengenai tanda dan gejala jika positif
terinfeksi.
3.
Memberikan pengetahuan
mengenai cara pencegahan dan pengobatan dan pencegahan pada penyakit tifoid.
C.
Perumusan Masalah
1.
Sejak kapan seseorang
dapat terserang /terserang penyakit
Tifoid?
2.
Bagaimana gambaran
mengenai tanda dan gejala penyakit tifoid?
3.
Bagaimana cara pencegahan
dan pengobatan penyakit tifoid?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Landasan Teori
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella
tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang
jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk
menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif
yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan
strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas,
tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara
aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent
terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º
F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap
dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat
bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering,
agfen farmakeutika dan bahan tinja. Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen
flagella HH. Antigen O adalah komponen
lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H
adalah protein labil panas.
1.Coovadia HM, Loening WEK. Typhoid. Bactrial
infections. In: Coovadia HM, Loening WEK, eds. Pediatric and child health.
Oxford University Press, 1984;147-51.
A. Patogenesis
Salmonella
typhi adalah bakteri gram negatif, termasuk keluarga Enterobacteriaceae.
Bakteri ini memiliki antigen O9 dan O12 LPS, antigen protein flagelar Hd dan
antigen kapsular Vi. Di Indonesia beberapa isolate memiliki jenis flagella yang
unik yaitu Hj (2). Seseorang terinfeksi Salmonella typhi melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Waktu inkubasi sangat tergantung
pada kuantitas bakteri dan juga host factors. Waktu inkubasi umumnya berkisar
antara 3 hari sampai > 60 hari . Organisme
yang masuk ke dalam tubuh akan melewati pilorus dan mencapai usus kecil.
Organisme secara cepat berpenetrasi ke dalam epitel mukosa melalui sel-sel
microfold atau enterocytes dan mencapai lamina propria, di mana secara cepat
ditelan oleh makrofag. Beberapa bakteri masih berada di dalam makrofag jaringan
limfoid usus kecil. Beberapa mikroorganisme melewati sel-sel retikuloendotelial
hati dan limpa. Salmonella typhi dapat bertahan dan bermultiplikasi dalam
sel-sel fagosit mononuclear folikel-folikel limfoid, hati dan limpa. Pada
fase bakteremia, organisme menyebar ke seluruh bagian tubuh. Tempat yang paling
banyak untuk infeksi sekunder adalah hati, limpa, sumsum tulang, empedu dan
Peyer’s Patches dari terminal ileum. Invasi empedu terjadi secara langsung dari
darah atau oleh penyebaran retrograde dari bile. Organisme diekskresikan ke
dalam empedu (melalui reinvasi dinding intestinal) atau ke dalam feses. Banyak
faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan dan outcome klinis demam tifoid.
Faktor-faktor tersebut adalah lamanya sakit sebelum memperoleh terapi yang
sesuai, pilihan antimikroba yang digunakan, paparan sebelumnya/riwayat
vaksinasi, virulensi strain bakteri,kuantitas inokulum yang tertelan, host
factors (tipe HLA, keadaan imunosupresi, dan pengobatan lain seperti H2blockers
atau antasida yang mengurangi asam lambung). 3.Feigin
RD. Typhoid fever (enteric fever). In: BehrmanRE, Kliegman RM, Nelson WE,
Vaughan VC III, eds. Nelson textbook of pediatrics; 14th ed. Philadelphia:
Saunders,1990; 7311-34.
B. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium meliputi
pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan
biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan
diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis,
memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.
1. Hematologi
• Kadar hemoglobin dapat normal atau
menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi.
• Hitung leukosit sering rendah
(leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi.
• Hitung jenis leukosit: sering
neutropenia dengan limfositosis relatif.
• LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat
• Jumlah trombosit normal atau menurun
(trombositopenia).
2. Urinalis
• Protein: bervariasi dari negatif
sampai positif (akibat demam)
• Leukosit dan eritrosit normal; bila
meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
3. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering
meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis Akut.
4. Imunorologi
•
Widal Pemeriksaan
serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap
antigen kuman Samonella typhi / paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno
yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana
penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test)
hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya
aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin. Hasil
uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif
palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh
faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan
spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan
adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena
antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan
darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya
penyakit imunologik lain. Diagnosis
Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160, bahkan mungkin
sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid
ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat
hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru
menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka
kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontrak
sebelumnya.
• Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG
dan lgM
Pemeriksaan
ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan
spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid.
Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis
Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi
akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/
reinfeksi/ daerah endemik.
5. Mikrobiologi
• Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji
ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/
paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk
Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/
Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah
tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam
spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah
masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah
mendapat vaksinasi. Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari, bila belum ada pertumbuhan
koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal
sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan
tinja.
6. Biologi molekular.
• PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA
kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan
uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas
tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan
dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi. 5.Lamadjido
A, Daud D. Protokol penatalaksanaan demam tifoid pada anak. BIKA FK UNHAS, 1989
c. Pengobatan Dengan
antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan.
Antibiotik yang banyak digunakan adalah kloramfenikol Kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi.
Antibiotik yang banyak digunakan adalah kloramfenikol Kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi.
5.HornickRB.
Salmonella infections. In: Feigin RD,Cherry JD, eds. Textbook of pediatric
infectious diseases; 2nd ed. Philadelphia: Saunders, 1987; 673-81.
BAB III
HASIL & PEMBAHASAN
TIFOID
Demam tifoid adalah
penyakit demam akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, namun
dapat juga disebabkan oleh S. enteriditis bioserotip paratyphi A dan S.
enteriditis serotip paratyphi B yang disebut demam paratyphoid. Tifoid adalah penyakit yang disebabkan infeksi
salmonella enterica yaitu turunan salmonella typhy penyakit sistem akut ini
menimbulkan gejala-gajala sistemik penyakit ini dapat ditemukan diseluruh
dunia. Demam
tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus
kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam
tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar
di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas.
Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada
anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan
perbandingan 2-:1. Dengan keadaan seperti ini, adalah penting untuk
melakukan pengenalan dini Demam Tifoid, yaitu adanya 3 komponen utama: Demam
yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari),Gangguan saluran pencernaan, dan
Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran.
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja.
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja.
Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu
dipertimbangkan beberapa keterbatasan. Salmonella merupakan kuman yang tersebar
secara luas di sekeliling kita, sehingga besar sekali kemungkinan seseorang
terinfeksi tanpa diketahui. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah
seseorang yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap
Salmonella.Interprestasi hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi
pada titer paling rendah. Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin
sebesar 1/40 atau 1/80 masih dianggap normal. Vaksinasi yang diberikan belum
lama berselang dapat meningkatkan titer agglutinin, khususnya agglutinin H. di
samping itu Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang
dengan agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H. Adanya factor rheumatoid
dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu. Sebaliknya pada penderita
yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering menunjukkan
hasil negativ, demikian pula bila specimen tidak ditampung pada saat yang
tepat. Salmonella
typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi manusia melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Untuk mendeteksi infeksi tersebut dilakukan
dengan pemeriksaan Widal atau dengan metode ELISA, dimana pemeriksaan tersebut
mempunyai masing-masing keunggulan dan kelemahan. Pemeriksaan Widal sering di
lakukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman
Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui.
Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah,
akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau
negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan. Peran
widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial karena
sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi tergantung
daerah geografis. Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi aglutinasi terhadap
antigen O dan H. Biasanya antibodi O muncul pada hari ke
6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit. Pemeriksaan pada fase akut
harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens. Hasil negatif
palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30%. Hal ini disebabkan karena pengaruh
terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan widal kurang begitu baik
karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop
Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga
menyebabkan hasil positif palsu. Hasil positif palsu juga dapat terjadi pada
kondisi klinis yang lain misalnya malaria, typhus bacteremia yang disebabkan
oleh organisme lain dan juga sirosis. Struktur Antigen Salmonella
a.
Antigen “H” atau antigen flagel dibuat tidak aktif oleh pemanasan di atas 600C
dan juga oleh alcohol dan asam. Kuman ini paling baik disiapkan untuk tes
serologi dengan menambahkan formalin pada biakan kaldu muda yang bergerak
dengan serum yang mengandung antibody anti H. antigen demikian akan
beraglutinasi dengan cepat dalam gumpalan besar menyerupai kapas. Antigen H ini
mengandung beberapa unsure imunologik. Dalam satu spesies Salmonella antigen
flagel dapat ditemukan dalam salah satu atau kedua bentuk yang dinamakan fase 1
dan fase 2. organisme cenderung berubah dari satu fase ke fase lainnya. Ini
dinamakan variase fase anti bodi terdapat antigen H adalah terutama Ig C.
b.
Antigen “O” atau antigen somatic adalah bagian dari dinding sel pada 1000C
terdapat alcohol dan terdapat asam yang encer. Antigen “O” dibuat dari kuman
yang tidak bergerak atau dengan pemberian panas dan alcohol. Dengan serum yang
mengandung anti “O” antigen ini mengadakan aglutinasi dengan lambat
membentuk gumpalan berpasir. Antigen terdapat antigen “O” terutama Ig M. anti
somatic O adalah Lipopolisakarida. Beberapa polisakarida spesifik O mengandung
gula yang unik, diosiribosa.
c. Antigen “V”, antigen kapsul K khusus
yang terdapat pada bagian paling pinggir dari kuman. Strain-strain yang baru
diisolasi dengan anti sera yang mengandung agglutinin anti “O” . antigen “Vi”
dirusak oleh pemanasan selama satu jam pada 60ºC dan oleh asam fenol. Biakan
yang mempunyai antigen “Vi” cenderung lebih virulen. Antigen K mirip polisakarida
kapsul meningokokus atau Haemophilus sp Gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi. Pada minggu pertama ditemukan gejala dan keluhan
serupa penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada
sore hingga malam hari. Dalam
minggu kedua gejala tampak lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif
(peningkatan suhu 1°C tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per
menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada
orang Indonesia. Gambaran Klinik
Masa inkubasi rata-rata 7 – 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih ringan dan lebih bervariasi. Demam adalah gejala yang paling konstan di antara semua penampakan klinis. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore dan malam hari. Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi terus menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah /terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan tremor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, perut kembung. Anak nampak sakit berat, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak tidur pasif, acuh tak acuh (apati) sampai berat (delier, koma).
Komplikasi dari demam tifoid dapat berupa komplikasi intestinal seperti perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, dan pankreasitik, sedangkan komplikasi non intestinal dapat berupa komplikasi kardiovaskular, darah, paru, hepatobilier, ginjal, tulang, dan neuropsikiatrik/tifoid toksik. Demam tifoid yang berat memberikan komplikasi perdarahan, kebocoran usus (perforasi), infeksi selaput usus (peritonitis) , renjatan, bronkopnemoni dan kelainan di otak (ensefalopati, meningitis).
Jadi ada tiga komponen utama dari gejala demam tifoid yaitu:
Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari), Gangguan saluran pencernaan, gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran. Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila pengobatannya terlambat:
Masa inkubasi rata-rata 7 – 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih ringan dan lebih bervariasi. Demam adalah gejala yang paling konstan di antara semua penampakan klinis. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore dan malam hari. Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi terus menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah /terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan tremor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, perut kembung. Anak nampak sakit berat, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak tidur pasif, acuh tak acuh (apati) sampai berat (delier, koma).
Komplikasi dari demam tifoid dapat berupa komplikasi intestinal seperti perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, dan pankreasitik, sedangkan komplikasi non intestinal dapat berupa komplikasi kardiovaskular, darah, paru, hepatobilier, ginjal, tulang, dan neuropsikiatrik/tifoid toksik. Demam tifoid yang berat memberikan komplikasi perdarahan, kebocoran usus (perforasi), infeksi selaput usus (peritonitis) , renjatan, bronkopnemoni dan kelainan di otak (ensefalopati, meningitis).
Jadi ada tiga komponen utama dari gejala demam tifoid yaitu:
Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari), Gangguan saluran pencernaan, gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran. Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila pengobatannya terlambat:
Banyak penderita yang mengalami perdarahan
usus; sekitar 2% mengalami perdarahan hebat, Biasanya perdarahan terjadi pada
minggu ketiga.
Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita
dan menyebabkan nyeri perut yang hebat karena isi usus menginfeksi ronga perut
(peritonitis).
Pneumonia bisa terjadi pada minggu kedua atau
ketiga dan biasanya terjadi akibat infeksi pneumokokus (meskipun bakteri tifoid
juga bisa menyebabkan pneumonia).
Infeksi kandung kemih dan hati.
Infeksi darah (bakteremia) kadang
menyebabkan terjadinya infeksi tulang (osteomielitis), infeksi katup
jantung (endokarditis), infeksi selaput otak (meningitis),
infeksi ginjal (glomerulitis) atau infeksi saluran kemih-kelamin.
Pada sekitar 10% kasus yang tidak diobati, gejala-gejala infeksi awal kembali timbul dalam waktu 2 minggu setelah demam mereda.
Pada sekitar 10% kasus yang tidak diobati, gejala-gejala infeksi awal kembali timbul dalam waktu 2 minggu setelah demam mereda.
Pencegahan *Preventif
dan kontrol penularan. Mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S. typhi,
faktor host, serta lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok
untuk memutus transmisi tifoid, yaitu: 1. Identifikasi dan eradikasi S.
typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kariertif 2.
Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut
maupun karier. 3. Proteksi pada orang yang berisiko
terinfeksi.
*Vaksinasi
Indikasi adalah bila: 1. Hendak mengunjungi daerah endemik. 2. Orang yang terpapar dengan
penderita karier tifoid, dan.
3.
Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
*Penderita
sebelumnya dicurigai infeksi, dan sudah diberi antibiotik oleh dokter puskesmas
setempat tetapi belum sembuh. Hal ini mungkin terjadi akibat resistensi
penderita terhadap jenis antibiotik tertentu. Apabila terjadi resistensi,
sebaiknya dipilihkan obat lain yang belum resisten, atau digunakan kombinasi
minimal dua jenis antibiotik yang mekanisme kerjanya berbeda. Kombinasi
antibiotik seperti ini sering dilakukan untuk terapi tuberculosis yang
resisten.
Vaksin
tifus per-oral (ditelan) memberikan perlindungan sebesar 70%.
Vaksin ini hanya diberikan kepada orang-orang yang telah terpapar oleh bakteri Salmonella typhi dan orang-orang yang memiliki resiko tinggi (termasuk petugas laboratorium dan para pelancong). Para pelancong sebaiknya menghindari makan sayuran mentah dan makanan lainnya yang disajikan atau disimpan di dalam suhu ruangan. Sebaiknya mereka memilih makanan yang masih panas atau makanan yang dibekukan, minuman kaleng dan buah berkulit yang bisa dikupas.
Vaksin ini hanya diberikan kepada orang-orang yang telah terpapar oleh bakteri Salmonella typhi dan orang-orang yang memiliki resiko tinggi (termasuk petugas laboratorium dan para pelancong). Para pelancong sebaiknya menghindari makan sayuran mentah dan makanan lainnya yang disajikan atau disimpan di dalam suhu ruangan. Sebaiknya mereka memilih makanan yang masih panas atau makanan yang dibekukan, minuman kaleng dan buah berkulit yang bisa dikupas.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wabah Salmonella dapat terjadi di
mana-mana terutama didaerah yang tidak memperhatikan kebesihan makanan dan air.
Salmonella yang mencari makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat
karena keadaan lingkungan. Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis
laboratorium penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid
dan Salmonella paratyphoid.
B.
Saran
Dari uraian di atas dapat di tarik
kesimpulan mengenai hasil pengumpulan data bahwa di daerah yang kurang
memperhatikan kebersihan lingkungan kemungkinan besar dapat dengan mudah
terinfeksi Salmonella typhoid dan Salmonella paratyphoid yang datang baik dari
unsur makanan dan minuman yang telah
terkontaminasi oleh kuman tersebut. Maka dari itu kebersihan lingkungan maupun
makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak terinfeksi. Salmonella
merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita, sehingga besar
sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui. Oleh karena itu ada
kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak sakit dijumpai sejumlah
antibody terhadap Salmonella.Interprestasi hasil reaksi Widal ditandai dengan
adanya aglutinasi pada titer paling rendah. Beberapa pakar menyatakan bahwa
titer agglutinin sebesar 1/40 atau 1/80 masih dianggap normal. Vaksinasi yang
diberikan belum lama berselang dapat meningkatkan titer agglutinin, khususnya
agglutinin H.
1. Sebaiknya pasien memperbaiki status
kebersihan lingkungannya pada penderita
penyakit infeksi Tifoid
. 2. Sebaiknya pasien Tipoid dan segera
dirawat inap agar cepat dapat ditangani dan terhindar dari komplikasi yang
berat. 3. Jagalah kesehatan anda sebab dengan
daya taha tubuh yang baik kuman ini tidak akan tumbuh dan yang juga cukup
penting adalah periksakan diri anda ke dokter secara teratur.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
A.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
B.
Harijanto, Paul N. 2007. Malaria dalam
Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
C.
Karsinah, H.M, Lucky. Suharto. H.W,
Mardiastuti. 1994. Batang Negatif Gram dalam Staf Pengajar FKUI. Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara.
D.
Nelwan, R.H.H. 2007. Demam: Tipe dan
Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
E.
Samuelson, John. 2008. Patologi Umum
Penyakit Infeksi dalam Brooks, G.F., Butel, Janet S., Morse, S.A. Mikrobiologi
Kedokteran. Jakarta: EGC.
F.
Sudiono, Janti. Kurniadhi, Budi.
Hendrawan, Andhy. Djimantoro, Bing. 2003. Ilmu Patologi. Jakarta: EGC.
G.
Wilson, L.M. 2006. Respon Tubuh
Terhadap Agen Menular dalam Price, S.A. Wilson, L.M. Patofisiologi, Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
H.
Zein, Umar. 2007. Leptospirosis dalam
Sudoyo, Aru W. et.al Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
I.
Dwijoseputro, Dasar -
dasar Mikrobiologi, Malang,
Djambatan
J.
1989 hal 197.
K.
E. Jawet, J.L.Melnik, E. A. Adelberg,
Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan , EGC edisi : 14,1982, hal 325-326.
L.
Gerard Bonang, Enggar S, Koeswardono,
Mikrobiologi Kedokteran untuk Laboratorium dan Klinik, Jakarta : Gramedia,
1982, hal 105-109.
terimakasih nih pembahasannya...
BalasHapushttp://tokoonlineobat.com/obat-demam-tifoid-alami/